Rabu, 24 November 2010

SOSIOLOGI HUKUM ISLAM

1.    A.  Sosiologi Hukum adalah: Ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang interaksi manusia yang berkaitan dengan hukum dalam kehidupan bermasyarakat.
Interaksi Manusia mengandung tiga unsur, yaitu : Tindakan (act), sesuatu (thing), dan makna (meaning).
Hukum yg dimaksud bukan saja hukum dalm arti tertulis tetapi juga yang tidak tertulis, baik menyangkut falsafah, intelektualitas, maupun jiwa yg melatar belakangi penerapan hukum.
     B. Kontribusi keilmuan kajian sosiologi Hukum: suatu usaha untuk memungkinkan pembentukan teori hukum yang bersifat sosiologis. Dapat menciptakan hukum yang sesuai dengan aspirasi masyarakat, yaitu dari sisi sosiologisnya. Sehingga hukum dapat berkembang dan berjalan dengan efektif sesuai dengan kondisi urbannya (sesuai dengan apa yang di cita-citakan).[1]
     C.   Manfaat Sosiologi Hukum dalam rangka mempelajari realitas hukum :
Mengetahui dan memahami perkembangan hukum positif (tertulis/tidak tertulis) di dalam     negara atau masyarakat.
Mengetahui  efektifitas berlakunya   hukum positif di dalam masyarakat.
Mampu menganalisis penerapan hukum di dalam masyarakat.
Mampu mengkonstruksikan fenomena hukum yangg terjadi di masyarakat.
Mampu mempetakan masalah-masalah sosial dalam kaitan dengan penerapan hukum di masyarakat.[2]
2.    A.  Karena di dalam sejarah Pemikiran Hukum Islam di batasi oleh teori Ketuhanan, yaitu hukum tidak dapat di rubah yang berkaitan dengan keimanan dan ketauhidan, hal ini berpedoman dengan Firman Allah SWT di dalam Al-Qur’. Segala ketentuan mengenai Hukum yang diperlukan oleh manusia sudah tercakup di dalamnya. Di sini manusia berposisi sebagai obyek hukum. Oleh karena itu, hal tersebut terkadang membuat para pemikir menjadi merasa tidak bebas dalam berfikir dan berimajinasi.
       Di sisi lain peyebab tidak berkembangnya kajian sosiologi dalam sejarah pemikiran Hukum Islam adalah kurangnya perhatian para sosiolog terhadap hukum, apabila di telaah tentang kenyataan di dalam masyarakat, bahwa hukum mengatur hampir semua aspek kehidupan masyarakat, maka hukum seharusnya merupakan objek penelitian dan bagian dari masyarakat yang sangat penting untuk di kaji oleh para sosiolog, akan tetapi, ternyata keadaannya adalah sebaliknya, sosiolog telah menelantarkan salah satu bidang ilmu yang mempelajari tentang  kemasyarakatan yang sangat penting dan banyak manfaatnya sebagai acuan dalam membuat suatu hukum.
B.  Adapun gagasan umum dalam pemikiran hukum islam yang memberi potensi ruang gerak pemikiran sosiologi hukum islam diantaranya adalah dalil dalil yang menjadi acuan dan landasan dalam mengungkapkan segala pemikiran, yaitu ijtihad-ijtihad yang dilakukan sebebas-bebasnya dengan tetap tidak keluar dari sumber hukum islam yaitu al quran, as sunnah serta dalam pemikiran sosiologi hukum islam itu diantaraya bisa merenggangkan hukum yang sempit menjadi lebih luas dengan metode Ijma’ dan Qiyas.
        Pada prinsipnya Hukum Islam bersifat konstan, tidak terpengaruh oleh ruang dan waktu.  Pemikiran dan interpretasi umat Islam yang selalu berubah, sesuai dengan perubahan kondisi sosiohistoris, mobilitas sosial, dan dinamika kemajuan zaman. Hukum Islam dapat saja menerima interpretasi, sejauh tidak bertentangan dengan maksud, tujuan, dan hakikat syara’. Interpretasi ini kemudian menjadi fikih imam mazhab dalam Islam. Atas dasar ini, hukum Islam tersebut mencakup syara’ dan juga hukum fikih, karena arti syara’ dan fikih terkandung di dalamnya.[3]
                       Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh Ibnu Qoyyim :
تغير الاحكام بتغير الازمنة و الامكنة والاحوال
Berubahnya suatu hukum sesuai dengan perubahan zaman, tempat dan keadaan”.
3.        Konstruksi sosial sangat berpengaruh terhadap keberadaan hukum Islam. Hal ini terkait dengan fenomena Imam syafi’I. sejarah hidupnya menunjukkan bahwa pemikirannya sangat di pengaruhi oleh masyarakat sekitar. Dengan kata lain, keadaan sosial masyarakat dan keadaan zamannya amat mempengaruhi Imam Syafi’I dalam membentuk pemikirannya hukumnya. Fakta dari hal tersebut adalah munculnya apa yang disebut dengan qaul jadid dalam spectrum pemikiran Imam Syafi’I. qaul qadim dan qaul jadid membuktikan fleksibilitas fiqh dan adanya ruang gerak dinamis bagi kehidupan, perkembangan dan pembaharuan. Menurut Ali sayis, lahirnya mazhab jadid merupakan dampak dari perkembangan baru yang dialaminya, dari penemuan hadits, pandangan dan kondisi sosial baru yang tidak ditemuinya di Hijaz dan di Iraq.[4]
        Hal tersebut meberikan keterangan kepada kita semua, bahwasanya di setiap daerah mempunyai struktur sosial yang berbeda. Sehingga berbeda pula hukum yang berlaku di setiap wilayah Negara dan sangat mempengaruhi akan keberadaan hukum islam beserta eksistensinya.
4.          Tipologi hukum tidak dapat dipisahkan dari corak perkembangan rasionalitas dan birokrasi masyarakat: ditinjau dari sudut ilmu politik, hukum merupakan suatu sarana dari elit yang memegang kekuasaan dan sedikit banyaknya dipergunakan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan, atau utnuk menambah serta mengembangkannya. Secara ssosiologis, elit tersebut merupakan golongan kecil dalam masyarakat yang mempunyai kedudukan yang tinggi atau tertinggi dalam masyarakat dan yang biasanya berasal dari lapisan atas atau menengah atas. Baik-buruknya suatu kekuasaan, tergantung dari bagaimana kekuasaan tersebut dipergunakan. Artinya, baik-buruknya kekuasaan senantiasa harus diukur dengan kegunaannya untuk mencapai suatu tujuan yang sudah ditentukan atau disadari oleh masyarakat tersebut lebih dahulu.
        Mengapa tipe hukum secara sosiologis erat kaitannya dengan karakteristik sosial masyarakat : Hukum lahir karena adanya gejala-gejala sosial di masyarakat. Hukum merupakan pencerminan dari sistem sosial di mana sistem hukum tadi merupakan bagiannya. Akan tetapi perlu diteliti dalam keadaan-keadaan pa dan dengan cara-cara yang bagaimana sistem sosial mempengaruhi suatu sistem hukum sebagai subsistemnya, dan sampai sejauh manakah proses pengaruh mempengaruhi tadi bersifat timbal-balik.
Tipologi hukum menurut Max Weber :
a). Hukum irasional dan material, yaitu di mana pembentuk undang-undang dan hakim mendasarkan keputusannya semata-mata pada nilai-nilai emosional tanpa menunjuk pada suatu kaidah.
b). Hukum Irasional dan Formal, yaitu di aman pembentuk undang-undang dan hakim berpedoman pada kaidah-kaidah di luar akal, oleh karena didasarkan pada wahyu atau ramalan.
c). Hukum Rasional dan Material, di mana keputusan-keputusan para pembentuk undang-undang dan hakim menunjuk pada suatu kitab suci, kebijaksanaankebijaksanaan penguasa atau ideologi.
d). Hukum Rasional dan Formal, yaitu di mana hukum dibentuk semata-mata atas dasar konsep-konsep abstrak dari ilmu hukum.
5.           Ciri-ciri hukum tradisional adalah :

a)      Tidak tertulis dalam bentuk perundangan dan tidak dikodifikasi.
b)     Tidak tersusun secara sistematis.
c)      Tidak dihimpun dalam bentuk kitab perundangan.
d)     Tidak tertatur.
e)      Keputusannya tidak memakai konsideran (pertimbangan).
f)       Pasal-pasal aturannya tidak sistematis dan tidak mempunyai penjelasan.

         Ciri-ciri hukum modern antara lain :

Pertama, hukum modern terdiri dari peraturan-peraturan yang seragam dan tidak bervariasi dalam penerapannya. Kedua, hukum modern bersifat transaksional. Ketiga, norma-norma hukum modern bersifat universal. Keempat, sistemnya adalah hirarkis. Kelima, sistem diatur secara birokrasi. Keenam, sistem yang rasional. Ketujuh, sistem dijalankan oleh para profesional. Kedelapan, sistem menjadi lebih teknis dan kompleks. Kesembilan, sistem yang dapat diubah. Tidak ada kepastian dalam sistem. Kesepuluh, sistem bersifat politis. Kesebelas, kegiatan menemukan hukum dan menerapkannya pada kasus-kasus konkrit dibedakan secara personal dan teknis pada fungsi pemerintahan.[5]

Perbedaan yang mendasar dari kedua karakter hukum yang dimaksud : 

Tercatat dan tidak tercatat. Hukum modern lebih bersifat tertulis secara otentik (terkodifikasi) di dalam Kitab Undang-Undang.
Bersifat universal dan tidak universal. Hukum Tradisional cakupannya tidak Universal, hanya mencakup dimana suatu adat pada daerah tempat tinggalnya.
Sistem diatur secara birokrasi pemerintahan.
Sistem diatur sesuai dengan kesepakatan pemuka adat.

Karakteristik Hukum Islam adalah : Hukum Islam karakternya Universal yang aturannya mencakup seluruh aspek kehidupan bagi para pemeluknya. Hukum islam sudah terkodifikasi dengan rapih dan sistematis, seperti Al-qur’an dan Sunnah. Karakteristi Hukum Islam sangat elastis dalam dinamika perubahan sosial. Hukum Islam tumbuh dalam berbagai situasi dan kondisi yang mengitari umat Islam.

6.        Solidaritas adalah integrasi, dan tingkat dan jenis integrasi, ditunjukkan oleh masyarakat atau kelompok dengan orang dan tetangga mereka. Hal ini mengacu pada hubungan dalam masyarakat - hubungan sosial - bahwa orang-orang mengikat satu sama lain.[6]

Menurut pemikiran Emile Durkheim, bahwa solidaritas itu dibagi kedalam dua bagian:

a.    Solidaritas mekanis, solidaritas ini berlaku pada masyarakat yang homogen yang mana interaksi tradisionalnya tinggi dikarenakan seringnya tatap muka atau face to face yang tinggi (masyarakat yang mempunyai daya tenggang rasa dan gontong royong serta saling tolong menolong di dalam kehidupan sehari-hari). Dan hukum yang berlaku di masyarakat ini yakni hukum yang bersifat represif

b.   Solidaritas syanis, solidaritas ini berlaku pada masyarakat yang heterogen atau modern yang mana interaksi antar masyarakat rendah dan masyarakat sudah professional serta sudah mempunyai spesialisasi hukum (masyarakat cenderung bersifat individualistis), dan hukum yang berlaku yakni hukum yang bersifat restitutif.[7]

         Pokok pemikiran Durkheim dalam kasus ini adalah : Berusaha untuk menghubungkan hukum dengan struktur sosial. Hukum dipergunakan sebagai suatu alat diagnose untuk memecahkan syarat-syarat struktural bagi perkembangan solidaritas masyarakat. Hukum dilihatnya sebgai dependent vriable, yaitu suatu unsur yang tergantung pada strutur sosial masyarakat, akan tetapi hukum juga dilihatnya sebagai suatu alat untuk mempertahankan keutuhan masyarakat maupun untuk menentukan adanya perbedaan-perbedaan dalam masyarakat. Dalam hal ini maka seluruh masyarakat akan bertindak bersama-sama, karena masing-masing merasa terancam oleh penyimpangan-penyimpangan atau pelanggaran terhadap kaidah-kaidah pokok dari masyarakat. Reaksi terhadap penyimapangan-penyimpangan tersebut memperkuat rasa solidaritas dan sangat menunjang ikatan kelompok.[8]









[1] SAP Mata Kuliah Sosiologi Hukum oleh Prof. Dr. Tb. Ronny Rahman Nitibaskara dan Dr. Bambang Widodo Umar .


[2] Ibid..
[3] Pemikiran Hukum islam oleh Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin

[4] Menurut sejarah, madzhab qadim dibangun di Irak, sedangkan madzhab jadid adalah pendapatnya selama berdiam di Mesir. Lihat, Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih…, hlm. 107.
[5] Tresnaokta blog.
[6] wikipedia
[7] Sumber, Pengantar Mata Kuliah sosiologi Hukum oleh Bpk Fahmi Ahmadi, MSi.
[8] Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Hal. 51 & 50.

2 komentar:

  1. penting sekali bagi para pejabat instansi hukum untuk lebih cermat lagi dalam memandang sosiologi masyarakat guna merancang undang-undang.

    BalasHapus
  2. ass..
    mas..
    izin copaas ya
    utk bhn kuliah
    trimakasih

    BalasHapus