Kamis, 25 November 2010

makalah hukum dagang (arbitrase pewarisan)

DAFTAR ISI

Halaman Judul ……………………………………………………………………….. 0
Daftar Isi ……………………………………………………..………………………. 1
BAB I  Pendahuluan …………………………………………………………………. 2
BAB II  Pembahasan : Perwarisan (Arbitrase) di Indonesia

A.  HUKUM KEWARISAN ………………………………………………….……. 3

B.  MAZHAB AHLUS SUNNAH INKLUSIF SYAFI’I TELAH LAMA DAN BERKEMBANG DI INDONESIA ……………………………………….…… 5

C.  SISTEM WARIS DALAM HUKUM MODERN ……………………….……. 7

D.  HUKUM WARIS MENURUT SYARIAT ISLAM …………………………… 8

E.  FARAID DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM ………………………………. 8

F.   ASAS-ASAS HUKUM KEWARISAN ISLAM ……………………...………. 12

G. LEMBAGA PERADILAN SEBAGAI LANGKAH TERAKHIR DALAM PENYELESAIAN URUSAN KEWARISAN …………………………..……. 15

BAB III KESIMPULAN ……………………………………………………..…….. 19
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………… 20





BAB I
PENDAHULUAN

Sebagai ajaran, Hukum Kewarisan Islam yang ada dikalangan ulama terdahulu biasa disebut “Faraid” itu menuntut umat Islam untuk menjadikannya pedoman dalam berbuat dalam hal-hal yang berkenaan dengan kewarisan itu. Bila di kalangan umat Islam menjadi kematian dan yang mati itu meninggalkan harta, dalam hal ke mana bagaimana caranya peralihan harta orang yang mati itu, umat Islam harus merujuk kepada ajaran agama yang sudah tertuang dalam Faraid, sebagaimana yang berlaku pada ajaran-ajaran lainnya.
Ketaatan umat Islam berpedoman kepada ajaran ini merupakan tolak ukur dari kadar keimanan. Bila ia berbuat sesuai dengan apa yang diajarkan agama tentang hal kewarisan itu ia akan mendapat rangsangan dan pujian dari Allah sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an surah al-Nisa’ ayat 13;sebaliknya orang yang menyimpang dari petunjuk Allah sebagai teersebut dalam ayat 14.
Meskipun kewarisan merupakan ajaran agama, namun tidak semua umat Islam mengetahuinya secara baik, sebagaimana yang berlaku pada ajaran agama yang berkenaan dengan ibadah shalat, puasa dan lainnya. Alasannya ialah pertama karena peristiwa kematian yang menimbulkan adanya kewarisan itu dalam suatu keluarga merupakan suatu yang jarang terjadi. Kedua, tidak semua orang yang mati itu meninggalkan harta yang patut menjadi urusan, karena tidak semua umat Islam itu kaya. Ketiga, ajaran tentang kewarisan itu membicarakan angka yang bersifat matematis yang tidak semua orang tertarik kepadanya. Meskipun demikian bila urusan kewarisan itu terjadi, harus diselesaikan dengan merujuk kepada ajaran agama tersebut.
Bila kematian yang menimbulkan kewarisan itu terjadi dalam suatu keluarga dan di antara anggota keluarga itu ada yang mengetahui ajaran agama teentang kewarisan itu, maka keluarga itu mengurus sendiri harta peninggalan itu sesuai dengan ajaran agama. Seandainya di kalangan keluarga itu tidak ada yang memahami cara mengurus harta warisan itu, biasanya mereka meminta petunjuk kepada orang lain di luar keluarga yang mereka ketahui memahami ajaran agama tentang hal tersebut. Cara seperti ini disebut “istifta”. Kalau semua anggota dalam keluarga dapat menerima pembagian sesuai dengan petunjuk dari orang tersebut, persoalaan selesai sudah. Masing-masing telah menerima hak dan ajaran agama telah dilaksanakan.


BAB II
PERWARISAN (ARBITRASE) DI INDONESIA

A.  HUKUM KEWARISAN
Dari seluruh hukum yang telah ada dan berlaku dewasa ini di samping hukum perkawinan, maka hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum kekeluargaan memegang peranan yang sangat penting, bahkan menentukan dan mencerminkan sistem dan bentuk hukum yang berlaku dalam masyarakat itu.[1] Hal ini disebabkan hukum kewarisan itu sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, bahwa setiap manusia pasti akan mengalami peristtiwa, yang merupakan peristiwa hukum dan lazim disebut meninggal dunia.
Apabila ada suatu peristiwa hukum yang meninggalnya seorang sekaligus menimbulkan akibat hukum, yaitu tentang bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia itu. Penyelesaian hak-hak dan kewajiban sebagai akibat adanya peristiwa hukum karena meninggalnya seseorang, diatur oleh hukum kewarisan. Jadi kewarisan itu dapat dikatakan sebagai himpunan peraturan yang mengatur hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia oleh ahli waris atau badan hukum lainnya.
Pentingnya hukum kewarissan ini terbukti dari hasil penelitian yang dilaakukan oleh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jayabaya Jakarta dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan mengikuti ujian Hukum Islam II pada periode tahun kuliah 1978/1979 dan 1979/1980, terlihat dalam statistic perkara yang masuk dan ditetapkan oleh Peradilan Agama di Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya, masalah kewarisan menempati urutan ke II setelah masalah perkawinan (Nikah, Talaq dan Rujuk).[2]
Dari hasil pengambilan sample dalam penelitian itu bukan berarti masalah kewarisan lebih sedikit dari masalah perkawinan, tentulah tidak, karena masih banyak lagi kasus-kasus kewarisan yang tidak diajukan ke Pengadilan Agama. Misalnya diselesaikan melalui Ulama-ulama, diselesaikan senddiri oleh para ahli waris ataupun melalui peradilan Umum Statistik itu hanya diambil dari perkara kewarisan yang masuk ke Pengadilan Agam saja.
Sebagimana dikemukakan di atas tadi bahwa bentuk dan sistem hukum dalam hal ini khususnya hukum kewarisan sangat erat kaitannya dengan bentuk masyarakat. Bilamana disepakati bahwa hukum adalah merupakan salah satu aspek kebudayaan baik rohaniah atau spiritual maupun kebudayaan jasmani, inilah barangkali salah sati penyebab kenapa adanya beraneka ragam sistem hukum terutama hukum kewarisan. Hukum menentukan bentuk masyarakat, masyarakat yang belum dikenal dapat dicoba mengenalnya pada pokok-pokoknya dengan mempelajari hukum yang berlaku dalam masyarakat itu.[3]
Hukum kewarisan yang merupakan salah satu bagian dari sistem kekeluargaan berpokok pangkal pada sistem menarik garis keturunan pada pokonya dikenal 3 (tiga) macam sistem keturunannya yaitu:
1.      Sistem patrinial, yaitu pada prinsipnya adalah sistem yang menarik garis keturunan, di mana seseorang itu menghubungkan dirinya kepada ayah dan seterusnya kepada ayahnya ayah sampai pada suatu titik nenek moyangnya yang laki-laki, dan karenanya mereka menganggap semuanya termasuk satu clan yang patrinial.
2.      Sistem matrinial di mana setiap orang selalu menghubungkan dirinya kepada ibunya dan seterusnya ke atas kepada ibunya ibu dan karenanya semua merekaa menganggap termasuk clan ibunya.
3.      Sisstem bilateral atau parental, di mana setiap orang merasa mempunyai hubungan baik melalui garis Bapak maupun garis Ibu, di sini tidak terbentuk clan, suku atau tribe seperti dalam sistem patrinial dan matrinial.
Mungkin masih ada variasi dari ketiga bentuk atau sistem masyarakat tersebut di atas tetapi kesimpulannya akaan menuju kepada salah satu bentuk / sistem tersebut.
Yang menjadi masalah sekarang dalam konteks tulisan yang singkat ini adalah pertanyaan yang timbul:
Dari ketiga bentuk/sistem masyarakat itu siapakah yang berhak tampil sebagai ahli waris?
Secara eksplisit akan ditemui bahwa dalam bentuk masyarakat yang patrinial akibatnya hanya laki-laki atau keturunan laaki-laki saja yang berhak tampil sebagai ahli aris, sedangkan dalam bentuk kedua hanya wanitlah pada prrinsipnyaa yang berhak tampil sebagaai ahli waris, walaupun ada variasi dari kedua sistem tersebut. Dalaam haal bentuk ketiga pada prinsipnya bailk laki-laki maupun wanita dapat tampil sebagai aahli waris, mewarisi harta peninggalan Ibu Bapaknya dan saudara-saudaranya baik laki-laki maupun perempuan.
Bertitik tolak dari bentuk masyarakat dan sistem menarik garis keturunan yang penulis kemukakan ddi atas tadi, membawa konsekuensi terhadap orang-orang yang berhak tampil sebagai ahli waris, inilah merupakaan titik pangkaal yang menjadi dasar permasalahan yaitu:
“Bentuk masyarakat apakah yang dikehendaki oleh Al-Qur’an yang membawa konsekuensi terhadap siapa-siapa yang berhak tampil sebagai ahli waris mewarisi harta peninggalan yang terbuka dari si pewaris (orang yang meninggal dunia)”.
Banyak perbedaan interprestasi di kalangan para faqih atau fuqaha, seperti misalnya teerdapat mazhab Hanafi, Syafi’I, Hanbali, Maliki dan golongan Syi’ah, terakhir pendapat atau ajaran Hazairin yang merupakan pendapat bari di Indonesia. Namun pada pokoknya dapat disimpulkan sebagai hanya pada dua golongaan besar yaitu pendapat ahlus sunnah (mazhab hanafi, maliki, Hanbali dan Ssyafi’i) di satu pihak dan ajaran Hazairin di lain pihak.

B.  MAZHAB AHLUS SUNNAH INKLUSIF SYAFI’I TELAH LAMA DAN BERKEMBANG DI INDONESIA

Mazhab ahlus sunnah inklusif Syafi’I telah lama dianut daan berkembang di Indonesia. Sebagaimana diketahui berdasarkan sejarah dan catatan tertulis yang masih ada, islam telah masuk ke Indonesia melalui perdagangan sejak abad ke 7 Masehi. Sejalan dengan itu berkembang ajaran ahlus sunnah baik sebagai ibadah maupun sebagai muamalah, terpatri berjalin berkelindan, berkai menjadi sattu sebagai amalan umat Islam di Indonesia.[4]/[5]

Dalam ajaran dan eksistensi peradilan Agama di Indonesia jelas terlihat adanya kecenderungan kalau ttidak boleh dikatakan bahwa bentuk masyarakat yang di tuju menurut ahlus sunnah adalah patrilinial.

Mungkin berdasarkan latar belakang sejarah Islam yang ada pada mulanya berkembang dalam hukum adat (pra Islam) bahwa wanita tidak berhak mewaris, seperti tercermin dalam kasus Sa’ad Ibn Rabi’ asbabun al nuzul (sebab-sebab turunnya Al-Qur’an surah An-Nisaa ayat 11 dan 12).[6]
Sa’ad Ibnu Rabi’ yang meninggal dunia pada waktu perang Uhud, meninggalkan isteri dan dua orang anak perempuan, sedangkan harta peninggalannya diambil semua oleh saudara laki-laki kandung Sa’ad Ibnu Rabi’ itu dan tidak diberikan sedikit pun kepada isteri dan anak perempuan Sa’ad Ibnu Rabi’ tersebut, dengan alasan bahwa wanita itu tidak bisa menunggang kuda dan tidak bisa mengasah pedang dalam arrti kata lain wanita itu tidak bisa perang.[7]
Di samping itu ditambah pula dengan paham oraang Arab di kala itu bahwa penafsiran Al-Qur’an itu masih tetap dipengaruhi oleh hukum Adat Arab yang bercorak patrilinial seperti misalnyaa pengertian bapak dari Q.IV:11, ditafsirkan juga dengan Datuk (Bapak dari Bapak) apabila tidak ada lagi bapak. Sedangkan cucu hanya ditafsirkan cucu melalui anak laki-laki saja yang berhak mewarisi, cucu melalui anak perempuan ini ditafsirkan dzawil arhaam (dzul arhaam), baru dapat tampil sebagai ahli waris yang mewaris harta peninggalan kakek atau neneknya apabila tidak ada lagi orang yang menerima bagian sebagai dzul faraaid dan ashabah.[8]
Menurut ajaran hazairin yang bertitik tolak pada sistem perkawinan dalam Al-Qur’an Surah IV ayat 22, 23 dan 24, memproklamirkan bentuk masyarakat yang bilateral, menghilangkan larangan-larangan perkawinan menurut Hukum Adat baik yang bercorak matrilineal maupun patrilinial dilarang kawin, tetapi menurut Al-Qur’an tidak dilarang. Seperti contoh yang diberikan oleh Rasul Allah antara Ali dan Fatimah anak Rasul Allah itu tidak boleh menikah secara patrilinial, karena ayah Ali dan ayah Rasul Allah itu bersaudara kandung, tetapi Rasul Allah menghapuskan sistem patrilinial itu dengan memberikan contoh menikahkan Fatimah dengan Ali bin Abu Thalib.[9]

Demikian juga proklamasi dalam Al-Qur’an Surah IV ayat 7 Surah IV ayat 11, menjadikan semua anak baik anak laki-laki maupun anak perempuan menjadi ahli waris dari orang tuanya atau ayah dan ibunya, ini adalah sistem bilateral, karena dalam sistem patrilinial pada prinsipnya anak laki-laki yang berhak mewaris, sedangkan dalam sistem matrilineal anak-anak hanya mewaris dari ibunya dan tidak dari Bapaknya. Demikian pula ayat tersebut menjadikan ayah dan ibu menjadi ahli waris bagi anak yang mati punah (kalaalah), maka ayah beserta ibunya mewarisi harta peninggalan anaknya itu. Ini adalah sistem bilateral karena dalam sistem patrilinial anak itu diwarisi oleh ayah, sedangkan dalam sistem matrilineal anak tersebut diwarisi oleh Ibu.
Demikian juga apabila Al-Qur’an Surah IV:7 dan Q. IV:11 ini dikembangkan dengan Al-Qur’an Surah IV:12 Q. IV:176 dalam seseorang mati punah (kalaalah) menjadikan saudara ahli waris bagi saudaranya yang mati punah (kalaalah) atau mati tidak berketurunan, baik yang mati itu laki-laki maupun perempuan, juga tidak menjadi soal apakah yang menjadi ahli waris itu saudara laki-laki atau saudara perempuan jenisnya ini adalah sistem bilateral, karena dalam sistem patrilinial hanya saudara laki-laki pada prinsipnya yang berhak mewaris sedangkan audara itu pun harus pula se-clan, sedangkan dalam sistem matrilinial juga hanya atas restriksi se-clan dengan si pewaris baru dapat diizinkan saudara perempuan laki-laki itu menjadi ahli waris.[10]



C.  SISTEM WARIS DALAM HUKUM MODERN

Hukum waris modern menjadikan mekanisme pewarisan berdasarkan kepemilikan. Pada prinsip usaha mencari harta oleh seseorang dalam masyarakat modern diperuntukkan kepada para ahli warisnya, demi kemaslahatan keluarga dan jaminan social masa depan untuk generasi setelahnya. Prinsip semacam ini sebenarnya elah diawali oleh syariat Islam dalam masalah kewarisan.
Jeremy bentham[11] pernah mengatakan bahwa jika ingin mencari mekanisme yang layak dalam pencarian harta waris yang ditinggalkan karena kematian seseorang, maka harus diperhatikan tiga hal yakni, pertama: kehidupan generasi setelahnya, keduanya: menghindari frustasi dalam angan-angan dan cita-cita, ketiga: mengupayakan persatuan hak dalam asset kekayaan. Sehubungan ketiga hal ini maka semua orang harus menjaga dan melestarikan kehidupan generasi sekarang dan selanjutnya, karena pada umumnya manusia itu hidup tidak hanya sendiri, tetapi selalu berinteraksi dengan manusia lain sesamanya. Bentuk interakssi ini bia berupa perkawinan, persaudaraan, percintaan maupun dengan cara saling membantu. Pendapat ini didasarkan kepada teeori utilitarianisme yang mengatakan bahwa manusia akan bertindak dan mengurangi penderitaan.
Pemikiran Jeremy Bentham sebagaimana tersebut di atas, telah mengilhami beberapa Negara Eropa unttuk memperbarui system hukum warisnya guna diberlakukan kepada warganya. Landasan hak mewarisi harta pusaka dalam deskripsi hukum positif modern adalah adanya ikatan kekerabatan alami, dan ikatan darah tanpa diskriminasi antara kaum laki-laki dengan kaum perempuan sebagaimana yang berlaku dalam masyarakatt kuno. Tidak ada diskriminasi yang disebab kaum laki-laki dianggap mempunyai keistimewaan tertentu sehingga ia dapat mewarisi harta orang tuanya lebih banyak dari anak perempuan. Keberadaan anak laki-laki tidak menjadi penghalang dalam memperoleh harta pusaka bagi ahli waris yang lain, tidak ada perbedaan dalam memperoleh volume pusaka yang seharusnya ia terima. Kedudukan anak dalam satu keluarga adalah sama.
Pad umumnya dalam hukum positif modern terdapat tiga macam kerabat yang dapat menerima waris yaitu anak, bapak, dan saudara. Kaidah dalam sistem waris anak adalah anak laki-laki maupun anak perempuan dapat mewarisi harta pusaka bapak, ibu,kakak mereka atau orang yang selain mereka yang termasuk dalam kategori bapak (ashl). Harta pusaka yang diterima oleh anak laki-laki. Demikian juga anak yang sulung sama bagiannya dengan anak yang bungsu dan bagi seorang anak yang meninggal dunia lebih awal dari ayahnya,mmaka anaknya (cucu yang mewariskan) menggantikan posisi ayahnya atau cicitnya (jika cucu tidak ada) sesuai dengan jatahnya.[12]
D.  HUKUM WARIS MENURUT SYARIAT ISLAM

Syariat Islam menetapkan ketentuan tentang waris dengan sangat istematis teratur, dan penuh dengan nilai-nilai keadilan.
 Di dalamnya ditetapkan hak-hak kepemilikan bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan dengan cara yang dibenarkan oleh hhukum Syariat Islam juga menetapkan hak-hak kepemilikan seseorang sesudah ia meninggal dunia yang harus diterima oleh seluruh kerabat dan nasabnya, dewasa atau anak kecil, semua mendapat hak secara legal. Al-Qur’an telah menjelaskan secara rinci tentang hukum-hukum yang berkaitan dengan kewarisan untuk dilaksanakan oleh umat Islam di seluruh dunia.
Al-Mirats dlam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (ifinitif) dari kata warits-yatitsu-irtsan-miiraatsan. Maknanya menurut bahasa ialah berpindahnya sesuatu dari seorang kepada orang lain atau dari suatu kaum kepada kaum yang lain. Pengertian menurut bahasa ini tidaklah terbatas hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan harta, tetapi mencakup harta benda dan non harta benda misalnya, Allah SWT. Dalam Al-Qur’an surat al-Naml ayat 16 “Wawarisa Sulaimanu Warasarul Anbiya I” (Ulama adalah ahli waris para nabi). Sedangkan makna al-miiraats menurut istilah yang dikenal para ulama ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang ditinggal itu berupa harta, uang, tanah atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar’i.[13]
Pada awal Islam, sebab-sebab seseorang mendapat waris selain karena kekerabatan, juga disebabkan karena pengangkatan anak (tabani), hijrah dari mekkah ke Madinah, bersumpah setia antara dua orang (hilf) dank arena mengikat tali persaudaraan antara Muhajirin dan Anshar. Kemudian dalam perkembangan lebih lanjut, satu per satu dari sebab-sebab warisan tersebut dimansukhkan oleh Syariat Islam, sehingga yang tinggal hanya kekerabatan saja. Ada tiga sebab yang menjadikan seseorang mendapat warisan yaitu kerabat dekat seperti kedua orang tua, anak, saudara, paman, dan seterusnya, kemudian karena pernikahan yang sah dan terakhir karena memerdekakan budak (al-wala’) sebab orang yang membebaskan budak berarti telah mengembalikan kebebasan seseorang sebagai manusia, oleh karena itu ia  bermewaris harta orang yang membebaskannya.[14]

E.  FARAID DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

Kompilasi Hukum Islam ini meskipun oleh banyak pihak tidak diakui sebagai hukum perundang-undangan, namun pelaksana di peradilan-peradilan agama telah bersepakat untuk menjadikannya sebagai pedoman dalam berperkara di pengadilan. Dengan demikian Kompilasi Hukum Islam bidang kewarisan telah menjadi buku hukum di lembaga peradilan agama. Kalau dulu hukum kewarisan itu berada dalam kitab-kitab fikih yang tersusun dalam bentuk buku ajaran, maka saat ini, kompilasi tersebut telah tertuang dalam format perundang-undangan. Hal ini dilakukan untuk mempermudah hakim di pengadilan Agama dalam merujuknya.
Apakah dengan demikian hukum kewarisaan dari Fikih Mawaris atau Faraid telah digantikan oleh Kompilasi Hukum Islam? Suatu hal yang dapat ddipastikan ialah bahwa Hukum Kewarisan Islam selama ini yang bernama fikih mawaris atau faraid itu dijadikan salah satu bahkan sumber utama dari Kompilasi. Sumber lainnya adalah hukum perundang-undangan tentang kewarisan yang terdapat pada BW yang sampai waktu ini masih berlaku, dan kenyataan yang berlaku di tengah masyarakat yang tertuang dalam jurisprudensi Pengadilan Agama.[15]
Kompilasi Hukum islam yang mengatur Kewarisan terdiri dari 23 pasal, dari pasal 171 sampai dengan pasaal 193. Sekedar perbandingan antara fikih faraid menurut apa adanya dengan Kompilasi Hukum Islam tersebut dapat dilihat dalam gambaran berikut:
Pasal 171 tentang Kewarisan Umum. Anak pasal a). menjelaskan tentang Hukum Kewarisan sebagaimana juga terdapat dalam kitab-kitab fikih dengan rumusan yang berbeda. Anak pasal b). membicarakan teentang pewaris dengan syarat beragama islam dan anak pasal c). membicarakan tentang ahli waris yang di samping mensyaratkan adanya hubungan kekerabatan dengan pewaris juga harus beragama Islam. Hal ini serupa dengan yang dibicarakan dalam fikih sebagaimana dijelaskan sbelumnya. Anak pasal d. dan e.juga tidak berbeda dengan fikih. Anak angkat dan baitul mal telah disinggunga sebelum ini. Dengan demikian keseluruhan pasal ini telah sejalan dengan fikih.
Pasal 172 yang membicarakan identitas ke-Islam-an seseorang hanya hal yang bersifat administrative, yang walaupun tidak disinggung dalam fikih, tidak menyalahai substansi fikih itu.
Pasal 173 membicarakan tentang halangan kewarisan yang format dan substansinya sedikit berbeda dengan fikih, dengan rumusan:
Seseorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena:
a.       Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris.
b.      Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
Dinyatakannya pembunuh sebagai penghalang kewarisan dalam anak pasal a. telah sejalan dengan fikih. Namun dijadikannya percobaan pembunuhan, penganiayaan, apabila memfitnah sebagai halangan, jelas tidak sejalan dengan fikih mazhab mana pun. Dalam fikih hanya pembunuhan yang menyebabkan kematian yang dijadikan penghalan kewarisan, itu pun pembunuhan sengaja; sedangkan yang tidak disengaja masih merupakan perdebatan yang berujung pada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Fikih beranggapan bahwa kearisan itu adalah hak seseorang yang ditetapkan dalam al-Qur’an dan tidak dapat dicabut kecuali ada dalil yang kuat seperti Hadits Nabi. Dicabutnya hak seseorang hanya karena percobaan pembunuhan atau penganiayaan, apalagi memfitnah meskipun ini merupakan kejahatan namun tidak dapat menghilangkan hak yang pasti, apalagi bila pewaris sebelum meninggal telah memberikan maaf. Oleh karena itu, pasal ini masih perlu diperkatakan.
Pasal 174 tentang ahli waris, baik dalam hubungan darah atau perkawinan, telah sejalan dengan fikih farai sebagaimana diuraikan dalam Bab IV.
Pasal 175 tentang kewajiban ahli wais terhadap harta sebelum dibagikannya harta tersebut kepada ahli waris telah sejalan dengan fikih mawaris, sebagaimana diuraikan dalam Bab IV.[16]
Pasal 176 tentang bagian anak dalam kewarisan, baik dalam keadaan sendiri atau bersama telah sejalan dengan ayat al-Qur’an dan rumusannya dalam fikih faraid.
Pasal 177 tentang bagian ayah dirumuskan sebagai berikut:
Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, bila ia meninggalkan anak, ayah mendapat seperenam bagian.
Walaupun rumusan pasal ini konon telah mengalami perubahan tetapi tidak mengubah secara substansil.  Bahwa ayah menerima seperenam dalam keadaan pewaris ada meninggalkan anak, jelas telah sesuai dengan al-Qur’an, maupun rumusannya dalm fikih. Tetapi menetapkan ayah menerima bagian (baca furudh) sepertiga dalam keadaan tidak ada anak, tidak terdapat dalam al-Qur’an, tidak tersebut dalam kitab fikih manapun, termasuk Syi’ah. Ayah mungkin mendapat sepertiga tetapi tidak sebagai furudh. Itu pun dalam kasus tertentu seperti bersama dengan ibu dan suami, dengan catatan ibu menerima sepertiga harta, sebagaimana yang lazim berlaku dalam mazhab jumhur Ahlu Sunnah. Namun bukan bagian sepertiga untuk ayah yang disebutkan dalam kompilasi. Kalau al-Qur’an dan fikih yang dijadikan ukuran, pasal ini jelas secara substansial.
Pasal 178 tentang bagian ibu dalam tiga kemungkinannya dan Pasal 179-180 tentang bagian duda dan janda dalam dua kemungkinannya telah sesuai dengan al-Qur’an dan rumusannya dalam fikih sebagaimana diuraikan di atas.
Pasal 183 tentang usaha perdamaian yang menghasilakan pembagian yang berbeda dari petunjuk namun atas dasar kerelaan bersama, memang dalam kitab-kitab fikih pada umumnya tidak dijelaskan dalam waktu membahas kewarisan. Meskipun secara formal menyalahi ketentuan fikih, namun dapat diterima dengan menggunakan pendekatan pemahaman takharuj yang dibenarkan dalam mazhab Hanafi.
Pasal 184 tentang pengangkatan wali bagi anak yang belum dewasa untuk mengurus hak warisannya, meskipun tidak dinyatakan dalam kitab-kitab fikih faraid, namun karena telah sejalan dengan kehendak al-Qur’an surah al-Nisa’ ayat 5, pasal ini dapat diterima.
 Pasal 185 tentang ahli waris pengganti dirumuskan:[17]
a.       Ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut pada pasal 173.
b.      Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.
Pasal ini memerlukan perhatian
Anak pasal 1) secara tersurat mengakui ahli waris pengganti, yang merupakan hal baru untuk hukum kewarisan Islam. Baru karena di Timur Tengah-pun belum ada Negara yang melakukan hal seperti ini sehinggga mereka perlu menampungnya dalam lembaga wasiat wajibah. Ini suatu kemajuan. Adalah bijakssana anak pasal ini menggunakan kata “dapat” yang tidak mengandung maksud imperatif. Hal ini berarti bahwa dalam keadaan tertentu yang kemaslahatan menghendaki keberadaan ahli waris pengganti dapat diakui; namun dalam keadaan tertentu bila keadaan menghendaki, tidak diberlakukan adanya ahli waris pengganti. (penjelasan tentang ini telah diuraikan sebelumnya pada IV-C).
Anak pasal ini secara tersirat mengakui hak kewarisan cucu melalui anak perempuan yang terbaca dari rumusan “ahli waris yang meninggal lebih dahulu” yang digantikan anaknya itu mungkin laki-laki dan mungkin pula perempuan. Ketentuan ini menghilangkan sifat diskriminatif yang ada pada hukum kewarisan ulama Ahlu Sunnah. Ketentuan ini sesuai dengan budaya Indonesia yang kebanyakan menganut kekeluargaan parental dan lebih cocok lagi dengan adat Minangkabau yang justru menggunakan nama “cucu” untuk anak dari anak perempuan tersebut.
Anak pasal 2) menghilangkan kejanggalan penerimaan adanya ahli waris pengganti dengan tetap menganut asas pertimbangan laki-laki dan perempuan. Tanpa anak pasal ini sulit untuk dilaksanakan penggantian ahli waris karena ahli waris pengganti itu menurut asalnya hanya sesuai dengan sistem Barat yang menempatkan kedudukan anak laki-laki sama dengan anak perempuan.
Pasal 186 tentang kewarisan anak yang lahir di luar nikah telah sesuai dengan kewarisan anak zina dalam fikih yang menempatkannya hanya menjadi ahli waris bagi ibunya dan orang yang berkerabat dengan ibu itu, sebagaimana diuraikan sebelumnya. (IV-c)
Pasal 187 tentang pelaksana pembagian warisan, pasal 188 berkenaan dengan pengajuan permintaan untuk pembagian harta warisan dan pasal 189 berkenaan dengan  pewarisan tanah pertanian, walaupun tidak diatur dalam fikih, namun karena hal-hal ini hanya menyangkut masalah administrative dan sesuai pula dengan prinsip maslahat, pasal-pasal ini dapat diterima.
Pasal 190 tentang hak isteri atas bagian gono-gini secara langsung tidak menyangkut hak kewarisan dan dalam kedudukan sebagian yang menjadi hak pewaris, tidak menyalahi ketentuan fikih dan telah diuraikan terdahulu.(IV-d)
Pasal 191 tentang pewaris yang tidak meninggalkan ahli waris atau ahli warisnya tidak diketahui keadaannya diatur dalam fikih faraid. Tentang ahli waris yang tidak memiliki keturunan telah diuraikan sebelumnya pada masalah sisa harta (III-d), sedangkan ahli waris yang tidak diketahui keberadaannya dijelaskan fikih pada kewarisan mafqud yang telah disebutkan sebelum ini.(IV-d dan IV-d)[18]
Pasal 192 tentang penyelesaian secara ‘aul dan Pasal 193 tentang penyelesaian secara Raad secara panjang lebar dibicarakan dalam fikih dan diuraikan panjang lebar dalam tulisan ini.(III-d dan IV-d)
Dari uraian pasal demi pasal yang berkenaan dengan ketentuan kewarisan dapat dikatakan bahwa pada umumnya pasal-pasal kewarisan dan Kompilasi Hukum Islam, kecuali beberapa hal krusial seperti dijelaskan di atas, meskipun mungkin di sana-sini ada perbedaan dengan kitab fikih, dapat ditempatkan sebagai Hukum Kewarisan Islam dalam bentuknya yang baru. Sedangkan beberapa poin krusial tetap dikembangkan dalam wacana.
Adapun pasal-pasal berikutnya yaitu 194 sampai dengan Pasal 209 tentang wasiat dan pasal-pasal 210 sampai dengan 214 tentang hibah, memang berada di luar wilayah kewarisan. Namun tidak salahnya dianggap menumpang dalam buku II tentang kewarisan, karena adanya titik kesamaan yaitu peralihan hak milik dari seseorang kepada orang lain.[19]

F.   ASAS-ASAS HUKUM KEWARISAN ISLAM

Kalau sumber hukum Islam (Al-Qur’an dan Al-Hadis) dan Kompilasi Hukum islam diperhatikan, maka dapat disalurkan dan diuraikan 5 (lima) asas hukum kewarisan Islam, yaitu (1) ijbari, (bilateral), (3) individual, (4) keadilan berimbang, dan (5) akibat kematian.
1.      Ijbari
Asas ijbari yang terdapat dalam hukum kewarisan Islam mengandung arti bahwa pengalihan harta dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris atau ahli warisnya.
Asas ijbari hukum kewarisan Islam dapat dilihat dari beberapa segi, yaitu (1) dari pengalihan harta yang pasti terjadi setelah orang meninggal dunia. Hal ini dapat dilihat dari Al-Qur’an Surah An-Nisaa’ (4) ayat 7 yang menjelaskan bahwa bagi laki-laki dan perempuan ada bagian warisan dari harta peninggalan ibu,bapak dan keluarga dekatnya. Dari kata nasib atau bagian itu, dapat diketahui bahwa dalam jumlah harta yang ditinggalkan oleh pewaris, terdapat bagian atau hak ahli waris. Oleh karena itu, pewaris tidak perlu menjajikan sesuatu yang akan diberikan kepada ahli warisnya sebelum ia meninggal dunia. Demikian juga halnya dengan ahli waris, tidak perlu meminta-minta hak kepada (calon) pewarisnya.

2.      Asas Bilateral
Asas bilateral dalam hukum kewarisan berarti seseorang menerima hak atau bagian warisan daari kedua belah pihak; dari kerabat keturunan laki-laki dan dari kerabat keturunan perempuan. Asas kebilateran itu, mempunyai 2 (dua) dimensi saling mewarisi dalam Al-Qur’an Surah An-Nisaa’ (4) ayat 7,11,12, dan 176, yaitu (1) antara anak dengan orang tuanya, dan (2) antara orang yang bersaudara bila pewaris tidak mempunyai anak dan orang tua. Hal ini, diuraikan sebagai berikut.

Pertama, dimensi saling mewarisi antara anak dengan orang tuanya. Dalam Al-Qur’an Surah An-Nisaa’ (4) ayat 11a ditegaskan bahwa anak perempuan berhak menerima warisan dari orang tuanya sebgaimana halnya dengan anak laki-laki dengan perbandingan bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Demikian juga dalam garis hukum Surah An-Nisaa’ (4) ayat 11d, ditegaskan bahwa ayah dan ibu berhak mendapat warisan dari anaknya, baik laki-laki maupun perempuan, sebesar seperenam, bila pewaris meninggalkan anak.
Kedua, dimensi saling mewarisi antara orang yang bersaudara juga terjadi bila pewaris tidak mempunyai keturunan dan/orang tua. Kedudukan saudara sebagai ahli waris dalam garis hukum Al-Qur’an Surah An-Nisaa’ (4) ayat 12 f, ditentukan bahwa bila seorang laki-laki mati punah dan mempunyai saudara, maka saudaranya (saudara laki-laki atau saudara perempuan) berhak mendapat harta warisannya. Demikian juga garis hukum Surah An-Nisaa’ (4) ayat 12g, bila pewaris yang mati punya seorang perempuan dan mempunyai saudara, maka saudaranya (laki-laki atau perempuan) berhak menerima harta warisannya. Selain itu, garis hukum Al-Qur’an Surah An-Nisaa’ (4) ayat 176b dan c menegaskan bahwa seorang laki-laki yang tidak mempunyai keturunan, sedangkan ia mempunyai saudara perempuan, saudaranya yang perempuan itulah yang berhak punyai saudara perempuan, saudaranya yang perempuan itulah yang berhak menerima warisannya. Demikian juga bila seorang laki-laki yang tidak mempunyai keturunan, sedangkan ia mempunyai saudara laki-laki, saudaranya yang laki-laki itulah yang berhak menerima harta warisannya.

3.      Asas Individual
Asas individual dalam hukum kewarisan Islam berarti harta warisan dapat dibagi-bagi kepada ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. Untuk itu, dalam pelaksanaannya, seluruh harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang kemudian dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menerimanya menurut kadar bagian masing-masing. Oleh karena itu, bila setiap ahli waris berhak atau bagian yang didapatnya tanpa terikat kepada ahli waris yang lain berarti mempunyai kemampuan untuk menerima hak dan menjalankan kewajiban (ahliyat al-ada).
Asas keindividualan hukum kewarisan Islam diperoleh dari analisis garis hukum Al-Qur’an mengenai pembagian harta warisan. Sebagai contoh, garis hukum warisan dari orang tua atau keluarga dekatnya. Demikian juga halnya dengan perempuan berhak menerima harta warisan orang tuanya dan/ atau kerabatnya baik sedikit maupun banyak. Bagian mereka (masing-masing) mempunyai rincian tertentu.[20]
Ayat 11,12, dan 176 Surah An-Nisaa’ (4) menjelaskan secara rinci hak masing-masing ahli waris menurut bagian tertentu dan pasti. Dalam bentuk yang tidak tentu pun seperti bagian anak laki-laki bersama dengan anak perempuan seperti disebutkan dalam Surah An-Nisaa’ (4) ayat 11 dan bagian saudara laki-laki bersama saudara perempuan dalam Surah An-Nisaa’ (4) ayat 176, dijelaskan perimbangan pembagiannya yaitu bagian laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan. Dari perimbangan tersebut, tampak bahwa ketentuan bagian masing-masing ahli waris sifatnya mengikat dan wajib dilaksanakan oleh setiap orang muslim yang mempunyai harta warisan.

4.      Asas Keadilan Berimbang
Asas keadilan berimbang dalam hukum kewarisan Islam berarti keseimbangan antara hak yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan dalam melaksanakan kewajiban. Perkataan adil banyak disebut dalam Al-Qur’an yang kedudukannya sangat penting dalam sistem hukum Islam, termasuk hukum kewarisan. Di dalam sistem ajaran agama Islam, keadilan itu adalah titik tolak, proses dan tujuan segala tindakan manusia.
Asas keadilan keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara hak yang diperoleh seseorang dengan kewajiban yang harus ditunaikannya. Sebagai contoh, laki-laki dan perempuan mendapat hak yang sebanding dengan kewajiban yang dipikulnnya masing-masing dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Dalam sistem kewarisan Islam, harta peninggalan yang diterima oleh ahli waris dari pewaris pada hakikatnya adalah pelanjutan tanggung jawab pewaris terhadap keluarganya. Oleh karena itu, bagian yang diterima oleh masing-masing ahli waris berimbanga dengan kewajiban atau tanggung jawab terhadap keluarganya. Oleh karena itu, bagian yang diterima oleh masing-masing ahli waris berimbang dengan kewajibaan atau tanggung jawab terhadap keluarganya. Selain itu, Al-Qur’an Surah Al-Baqarah (2) ayat 233 dan Surah At-Thalaq (65) ayat 7 menjelaskan bahwa seorang laki-laki menjadi penanggung jawab kehidupan keluarga untuk mencukupi keperluan hidup anak dan istrinya menurut kemampuannya. Tanggung jawab itu merupakan kewajiban agama yang harus dilaksanakannyaa, terlepas dari persoalan apakah istrinya mampu atau tidak, anaknya memerlukan bantuan atau tidak. Demikian juga, Al-Qur’an Surah Al-Baqarah (2) ayat 177 menjelaskan bahwa seorang laki-laki mempunyai tanggung jawab terhadap kerabat lain berdasarkan keseimbangan antara hak yang diperoleh dan kewajiban yang harus ditunaikan. Sesungguhnya manfaat yang dirasakan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan dari harta peninggalan yang mereka peroleh adalah sama.[21]

5.      Asas Akibat Kematian
Asas akibat kematian dalam hukum kewarisan Islam berarti kewaeisan ada kalau ada yang meninggal dunia, kewarisan ada sebagai akibat dari meninggalnya seseorang. Oleh karena itu, pengalihan harta seseorang kepada orang lain yang disebut kewarisan, terjadi setelah orang yang mempunyai harta itu meninggal dunia. Ini berarti bahwa harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain selama orang yang mempunyai harta itu masih hidup. Demikian juga, segala bentuk pengalihan harta seseorang yang masih hidup kepada orang lain, baik secara langsung maupun yang akan dilaksanakan kemudian sesudah meninggalnya, tidak termasuk ke dalam kategori kewarisan menurut hukum Islam.
Kalau hukum kewarisan islam hanya meninggal satu bentuk kewarisan saja, yaitu kewarisan sebagai akibat dari menunggalnya seseorang atau yang disebut dalam hukum kewarisan karena kematian atau yang disebut dalam hukum kewarisan perdata Barat kewarisan ab intestate atau kewarisan karena kematian atau kewarisan menurut undang-undang, maka hukum kewarisan Islam tidak mengenal kewarisan atas dasar wasiat atau kewarisan karena diangkat atau ditunjuk dengan surat wasiat yang dilakukan oleh seseorang pada waktu ia masih hidup, yang disebut dalam hukum perdata Barat dengan istilah kewarisan secara testamen.
Asas akibat kematian seseorang mempunyai kaitan dengan asas ijbari yang sudah disebutkan, yakni seseorang tidak seekehendaknya saja menentukan penggunaan hartanya setelah ia meninggal dunia kelak. Melalui wasiat, menurut hukum islam, dalam batas-batas tertentu, seseorang memang dapat menentukan pemanfaatan harta kekayaannya setelah ia meninggal dunia, tetapi wasiat itu merupakan ketentuan tersendiri terpisah dari ketentuan hukum kewaarisan Islam.[22]

G.    LEMBAGA PERADILAN SEBAGAI LANGKAH TERAKHIR DALAM PENYELESAIAN URUSAN KEWARISAN

Karena hukum kewarisan itu merupakan ajaran agama yang mesti dijalankan, dapat diperkirakan hukum kewarisan itu telah berlangsung sejalan dengan berlakunya ajaran agama dalam bidang-bidang lainnya. Adapun pengurusannya dalam bentuk peradilan memerlukan suatu kekuasaan. Dalam hal ini dapat dipahami bahwa di mana telah berlaku kekuasaan yang menganut agama Islam, telah ada peralihan yang menjalankan ajaran agama Islam. Dalam ajaran agama yang dirumuskan dalam fikih terdapat ajaran tentang “qadha” yang membicarakan segala hal tentang peradilan, termasuk acaranya.
Peradilan yang menjalankan ajaran agama dalam bentuknya yang resmi di Indonesia telah ditetapkan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1882 melalui Stbl. No. 152 tahun 1882, tentang penddirian Raad Agama, (yang menjadi cikal bakal Peradilan Agama) untuk pulau jawa dan Madura. Dalam Stbl, ini ditetapkan bahwa salah satu wewenang absolutnya adalah kewarisan. Hal ini berarrti bahwa sengketa urusan kewarisan bagi umat Islam diselesaikan dalam Raad Agama.
Dimasukannya kewarisan dalam wewenang Raad Agama pada waktu itu agaknya mengikuti pendaapat pakar hukum Belanda yang bernama W. van den Berg dengan teorinya yang popular dengan sebutan “reception in complex” yang berarti menerima ajaran agama secara menyeluruh. Maksudnya bila seseorang telah menganut agama Islam, maka ia akan menjalankan semua ajarannya termasuk kewarisaan.
Pemikiran v/d Berg ini kemudian menjadi wacana di kalangan pakar Belanda yang datang kemudian. Snock Hurgronje dan C. van Vollenhoven mengeemukakan teori lain yang disebut “receptive teori” yang berarti umat Islam menjalankan hukum agama sejauh telah terserap ke dalam adatnya. Menurut pakar ini tidak semua ajaran agama (termasuk kewarisan) telah diikuti dalam kebiasaan umat Islam.
Agaknya teori receptive ini yang mempengaruhi Pemerintah Hindia Belanda untuk mengubah kebijaksanaannya tentang Raad Agama, dengan mengeluarkan aturan baru dalam Stbl. No. 116-610 tahun 1937. Dalam Stbl. Ini ditetapkan urusan kewarisan tidak lagi menjadi wewenag Raad Agama. Kebijaksanaan seperti ini berlaku pula pada pembentukan peradilan agama di Kalimantan Selatan dan Timur melalui Stbl. No.638-639 tahun 1937 tentang pembentukan lembaga Kerapatan Qadhi dan Qadhi Besar di Kalimantan Selatan dan Timur. Dalam Stbl. Ini ditetapkan kewarisan bukan menjadi wewenang peradilan.[23]
Setelah Indonesia merdeka, Pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 1957, tentang Pembentukan Mahkamah Syari’ah (Peradilan Agama) dan Mahkamah Syari’ah Provinsi untuk selurruh Indonesia, di luar Jawwa, Madura dan Kalimantan Selatan Timur. Dalam Peraturan Pemerintah itu ditetapkan salah satu wewenang peradilan agama adalah kewarisan.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa di Indonesia, kewarisan telah diurus oleh lembaga peradilan resmi dengan nama dan kewenangan yang berbeda, semenjak tahun 1882. Tentang kewenangannya dalam mengurus urusan kewarisan terdapat keragaman. Peradilan Agama di jawa, Madura, Kalimantan Timur dan Selatan tidak menyelesaikan perkara kewarisan sedangkan di luar daerah-daerah tersebut Pengadilan Agama menyelesaikan perkara kewarisan. Meskipun di Jawa dan Madura Pengadilan Agama tidak menyelesaikan perkara kewarisan, namun sangat banyak umat Islam yang mengajukan masalahnya kepada Pengadilan Agama. Oleh karena Pengadilan Agama dalam hal ini tidak berwenang secara hukum untuk menyelesaikan perkara kewarisan maka apa yang mereka lakukan ialah memberikan fatwa waris. Fatwa waris ini diterima dan dilaksanakan oleh pencari keadilaan. Hal ini terungkap dalam hasil penelitian yang dilakukan Ibnu Habibah Daud Ali di beberapa Pengadilan Agama di Jawa. Di samping itu di pengadilan-pengadilan agama yang terdapat di luar Jawa dan Madura yang jelas-jelas berwenang menyelesaikan perkara waris, tidak banyak mengajukan perkara waris di Pengadilan Agama, karena urusannya banya diselesaikan di luar pengadilan.
Keragaman nama dan wewenang peradilan agama itu tetah berakhir semenjak tahun 1989 dengan keluarnya UU No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pasal 49 dari UU ini menetapkan:
Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a.       Perkawinan
b.      Kewarisan, wasiat dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islamm;
c.       Wakaf dan shadaqah.
Dalam Pasal 49 UU ini ditegaskan bahwa kewarisan bagi umat Islam, di seluruh Indonesia, penyelesaiannya menjadi wewenang Peradilan Agama. Tentang hukum yang digunakan dalam menyelesaikan urusan kewarisan itu adalaah hukum Islam tentang kewarisan atau yang disebut Hukum Kewarisan Islam atau Faraid. Dengan demikian dapat dissimpulkan bahwa Hukum Kewarisan islam merupakan hukum positif di Indonesia, khususnya bagi umat Islam.
Pengertian hukum positif di sini adalah hukum yang berlaku dan dilaksanakan oleh Negara melalui lembaga peradilan yang dibentuk oleh Negara. Hukum Kewarisan Islam bukan hukum nasional di Indonesia dalam arti “hukum tertulis yang ditetapkan oleh badan Negara yang berlaku dan mengikat untuk seluruh warga neegara”. Hukum kewarisaan yang berlaku di Indonesia pada waktu ini bukanlah Hukum Kewarisab Nasional karena hukum nasional tentang kewarisan sampai waktu ini belum ada. Hukum yang ada beragam, yaitu: hukum perunddang-undangan (BW), hukum adat dan hukum Islam yang khusus berlaku unttuk orang Indonesia yang beragama Islam. Hal ini meruupakan kelanjutan dari politik hukum Pemerintahan Hindia Belanda, yang keberadaannya terjamin dalam Pasal Tambahan II dan UUD 1945.[24]

Hukum kewarisan yang dinyatakan sebagai hukum positif bagi umat Islam Indonesia itu pada saat itu belum berbentuk hukum perundang-undangan tetapi baru dalam kitab fikih bab Faraid. Hal ini berarti bahwa para hakim dalam memberikan pertimbangan waktu menetapkan keputusan dalam peradilan, merujuk kepada kitab fikih faraid tersebut.
Sebagaimana disebutkan di atas, fikih itu meskipun bersumber utama kepada al-Qur’an dan Hadits; namun kemudian berkembang dalam wacana pemahaman terhadap sumber tersebut dan dirumuskan dalam kitab fikih sesuai dengan aliran pikiran yang kemudian disebut mazhab. Fikih yang berkembang di Indonesia pada umumnya adalah mengikuti mazhab Imam Syafi’I, tanpa menutup adanya aliran fikih atau mazhab lain, meskipun kecil. Mazhab Imam Syafi’I itu dikembangkan kemudian oleh pengikutnya dalam suatu wacana yang hasilnya juga beragam pendapat. Beragam pendapat dalam wacana tidak menimbulkan masalah. Namun bila putusan pengadilan yang merujuk kepada fikih yang berbeda itu menghasilkan penetapan yang berbeda dalam satu kasus kewwarisan, baru menimbulkan masalah.

Kitab ffikih yang dijadikan rujukan peradilan agama yang beragam itu dan merumuskannya dalam satu bentuk kesatuan. Setelah melalui proses panjang, Mahkamah Agung sebagai pemegang kekuasaan peradilan di Indonesia bersama Menteri Agama, dengan melibatkan ulama, pakar fikih, ahli hukum dan pemuka masyarakat lainnya berhasil mengeluarkan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Kompilasi Hukum Islam yang mengatur urusan perkawinan, kewarisan dan perwakafan ini disebarluaskan melalui Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 yang dikeeluarkan pada tanggal 10 Juni 1991. Instruksi Presiden ini diiringi pula oleh Keputusan Menteri Agama No.154 tahun 1991 yang meminta untuk sedapat mungkin menerapkan Kompilasi Hukum Islam itu di peradialn agama yang ada di seluruh Indonesia.



















BAB III

KESIMPULAN


Bahwa ajaran kewarisan ahlus sunnah, di Indonesia lebih dikenal dengan ajaran Syafi’I telah diterima umum secara praktis walaupun teoritis masih dikenal ajaran kewarisan dari mazhab Hanafi.
Sejak masuknya Islam ke Indonesia menurut catatan sejarah sejak abad ketujuh, yang dianut dan berkembang adalah mazhab ahlus sunnah baik mazhab Hanafi, Maliki, Hanbali dan Syafi’i.
Imam Syafi’I dianggap seorang yang mempunyai ilmu pengetahuan yang luas dan hati-hati dalam mengeluarkan fatwanya, oleh karena itu Syafi’I dengan ajarannya sangat dihormati dan disegani, jadi ada perasaan malu mengemukakan perasaan ketidakadilan terhadap ajaran Syafi’i tentang hukum kewarisan ini.
Di Indonesia ada ijtihad Prof. Dr. Hazairin, S.H. yang berdasarkan pengalaman beliau meneliti hukum adat selama lebih dari seperempat abad kemudian mempeelajari Bahasa Arab serta berusaha menafsirkan Al-Qur’an, kemudian mengeluarkan garis hukum baru tentang hukum kewarisan yang mendekati hasil penetapan ijtihad fuqaha di Mesir yang tertuang dalam Undang-undang Wasiat Mesir Tahun 1946 Nomor 71.
Ijtihad hazairin terhadap Al-Qur’an surah An-Nisa ayat 33 dan sampai pada kesimpulan memberikan hak mewaris kepada cucu baik melalui anak laki-laki maupun cucu melalui anak perempuan, sebagai ahli waris pengganti dari orang tuanya yang telah meninggal lebih dahulu, akan dapat diterima sebagai suatu hal yang mendekati rasa keadilan hukum menurut Al-Qur’an dan umat Islam di Indonesia bahkan lebih jauh mungkin akan dapat diterima sebagai suatu sumbangsih dalam menetapkan hukum kewarisan Nasional Indonesia, setidak-tidaknya khusus umat Islam.
Di sinilah barangkali letak pentingnya pula dalam rangka memperingati seratus tahun lembaga Peradilan Agama di Indonesia disarankan agar lembaga ini atau fuqaha di Indonesia, dapat hendaknya menciptakan hukum baru sebagai jalan keluar dari ketidakadilan yang terasa diam-diam oleh Umat Islam atau justiciable (pencari keadilan) yang kebetulan termasuk dzawil arhaam atau orang-orang yang seyogyanya menurut rasa keadilan.







DAFTAR PUSTAKA


Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur’an dan Hadist, Cet. Ke-III, Penerbit Tintamas, Jakarta, 1974,
                 Sumber 263, Paper Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jayabaya Jakarta Tingkat III Pagi/Sore 1978/1979 dan 1979/1980.

MD. Mansoer dkk., Sejarah Minangkabau, Penerbit Bahtera, Jakarta,

Shaleh, Qamaruddin,K.H. cs., Asbabun Nuzul Latar belakang historis turunnya ayat Al-Qur’an, cetakan ke-2 Penerbit Diponegoro, 1975

Thalib, Sayuti, Kuliah Hukum Islam II pada FHUI, 1979/1980, dihimpun oleh M.Idris Ramulyo, 1981.

Fatchur Rahman, Ilmu Waris, Penerbit PT. Al Ma’arif  Bandung, 1975,

Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral menurut Al-Qur’an, Cetakan ke III, Penerbit Tintamas Jakarta, 1974

Hazairin, Kewarisan dan Sistem Bilateral, Cetakan ke II, Penerbit Tintamas, Jakarta.

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum perdata Islam di Indonesia. Cet 1. Jakarta: Kencana, 2006.

Muhamad Ali Ash-Shabuni, Al-Mawarits Fisy-Syar’ati Islamiyah ala Dhau al-Kitab wa Sunnah, terjemahan AM. Basmalah, Gema Inssani Press, Jakarta.

Syarifuddin,Amir. Hukum Kewarisan Islam. Cet ke-1. Penerbit Prenada Media Jakarta.2004.












Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam. Cet ke-5. CV.Akademika Pressindo,Jakarta. 2007.

Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia. Sinar Grafika. Jakarta. 2006.
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata. Jakarta. Intermasa. 1977.

Syarifuddin, Amir. Hukum Kewarisan Islam. Kencana, cet. Ke-2, Jakarta, 2004/2005.

Ramulyo, Idris. Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama Dan Zakat menurut Hukum Islam. Sinar Grafika, cet. ke-4, Jakarta, 2006.




[1] Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur’an dan Hadist, Cet. Ke-III, Penerbit Tintamas, Jakarta, 1974, hal. 9.
[2] Sumber 263, Paper Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jayabaya Jakarta Tingkat III Pagi/Sore 1978/1979 dan 1979/1980.
[3] Hazaairin, Op.cit., hal.9.
[4] Mazhab Syi’ah kenyataan  tidak ada pengaanutnya di Indonesia.
[5] MD. Mansoer dkk., Sejarah Minangkabau, Penerbit Bahtera, Jakarta, hal. 45.
[6] K.H. Qamaruddin Shaleh cs., Asbabun Nuzul Latar belakang historis turunnya ayat Al-Qur’an, cetakan ke-2 Penerbit Diponegoro, 1975, hal. 20.
[7] Sayuti Thalib, Kuliah Hukum Islam II padaa FHUI, 1979/1980, dihimpun oleh M.Idris Ramulyo, 1981.
[8] Fatchur Rahman, Ilmu Waris, Penerbit PT. Al Ma’arif  Bandung, 1975, hal. 357.

[9] Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral menurut Al-Qur’an, Cetakan ke III, Penerbit Tintamas Jakarta, 1974, hal. 11.
[10] Hazairin, Kewarisan dan Sistem Bilateral, Cetakan ke II, Penerbit Tintamas, Jakarta, hal. 12.
[11] Beliau adalah seorang cendekiawan dan ahli hukum yang cukup terkenal, lahir tahun 1978 dan meninggal tahun 1832. Beliau mempunyai pengaruh besar dalam pembuatan Undang-Undang Modern di Eropa. Lebih lanjut baca Gerald J. Postema, Bentham and The Common Law Tradition, Clarendon Press, Oxford, 1986.
[12] Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum perdata Islam di Indonesia. Cet 1. Jakarta: Kencana, 2006. Hal 200.
[13] Muhamad Ali Ash-Shabuni, Al-Mawarits Fisy-Syar’ati Islamiyah ala Dhau al-Kitab wa Sunnah, terjemahan AM. Basmalah, Gema Inssani Press, Jakarta, cet. Ke-9.
[14] Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum perdata Islam di Indonesia. Cet 1. Jakarta: Kencana, 2006. Hal 206.
[15] Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam. Cet ke-1. Penerbit Prenada Media Jakarta.2004. Hal.327.
[16] Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam. Cet ke-5. CV.Akademika Pressindo,Jakarta. 2007.
[17] Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam.
[18] Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam.

[19] Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam.

[20] Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia. Sinar Grafika. Jakarta. 2006.Hal 124.
[21] Ibid. Hal.125.
[22] Ibid. Hal.125.
[23] Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam. Cet ke-1. Penerbit Prenada Media Jakarta.2004. Hal.324.
[24] Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata. Jakarta. Intermasa. 1977.